Pengalaman Menggembalakan Hati Anak
Di supermarket, Reni (usia 5 tahun) minta dibelikan Choki-choki. Reni berkata, “Sebungkus Choki-choki ini isinya ada empat. Nanti aku mau bagi, papa dapat satu, mama dapat satu, kakak dapat satu, lalu aku dapat satu.”
Setibanya di rumah, Reni kemudian mengambil, membuka lalu segera memakan salah satu Choki-chokinya. Sambil makan ia berkata, “Hmmmm, ini enak lho, Pa. Rasanya seperti susu.” Ia pun terus memakannya sampai habis. Setelah habis dengan tersipu-sipu ia berkata, “Sorry ya, aku gak jadi berbagi ah… Soalnya aku suka sih.”
Mendengar komentarnya, mamanya terpikir untuk mengingatkan Reni pada janjinya saat membeli Choki-choki tadi. “Reni, bukankah tadi kamu mau bagi satu-satu untuk kita semua?” Mendengar pertanyaan itu, dengan polosnya Reni bertanya kembali kepada kami semua, “Kakak mau?” Kakaknya mengangguk. Lalu, “Mama mau?” Dan Mama pun mengangguk. Saat menghampiri Papanya, dengan raut wajah was-was, ia bertanya, “Papa mau?” Tak disangka, respon Papa berbeda dari respon Mama dan kakaknya. Papa merangkul Reni, lalu mengambil sepotong Choki-choki dan berkata, “Ya Reni, Papa mau. Dan Papa mau berbagi separuh dengan Reni.” Akhirnya dengan mata yang berbinar-binar, Reni menikmati berbagi Choki-choki itu bersama Papanya.
Setelah dihabiskannya Choki-choki tadi, Reni memandangi dua Choki-choki yang masih tersisa dan berujar dengan suara pelan, “Mama, maaf yah, aku tidak mau berbagi tadi.”
Memang Choki-choki ini masalah sepele. Berapa sih harganya? Selain itu, bukankah tadi Reni sudah mau berbagi separuh Choki dengan Papanya?
Namun mengingat Papa-Mama sedang melatih hati dan bukan sekadar perilaku, maka Mama memakai momen sederhana ini untuk melatih hati Reni. Maka terjadilah percakapan sebagai berikut:
Mama: “Mengapa Reni tidak mau berbagi?”
Reni: “Karena Reni suka, Ma”
Mama: “Reni, berbagi itu indah lho.”
Reni menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Reni mau semua Choki-choki itu, Ma. Reni suka”
Mama: “Reni, Tuhan Yesus pernah bertemu dengan anak seperti kamu. Ketika anak itu sangat lapar dan ia mau memakan bekalnya, ia melihat orang-orang lain yang juga sedang lapar. Lalu ia mau memberikan bekalnya kepada Tuhan Yesus, supaya bekal itu bisa dibagi-bagikan untuk orang lain. Anak itu tidak menikmati sendiri apa yang ia punya.”
Tanpa diduga, Reni pun menangis.
Mama kembali berkata, “Reni, Mama ingin kamu belajar untuk tidak mengikuti keinginan hatimu sendiri, tetapi belajar bahwa berbagi itu sebenarnya menyenangkan. Ayo, berikan Choki-choki itu seperti janjimu tadi.”
Dengan agak ragu, Reni mengulurkan satu Choki-choki itu kepada kakaknya. Mama berencana, apabila Reni sudah berani menyerahkan Choki-chokinya, Mama akan berbagi separuh dengannya (seperti yang dilakukan papanya). Namun ternyata kakaknya mendahului Mama. “Kakak berbagi separuh denganmu yah, Reni.”
Reni cukup senang dan makan sedikit demi sedikit separuh Choki dari kakaknya, lalu ia mendekati Mama dengan mata yang masih basah dengan air mata. Dengan sedih hati ia menunjukkan mimik muka yang berat untuk berpisah dengan satu buah Choki-choki terakhirnya. Mama tahu bahwa Reni berharap dirinya juga mengatakan hal yang sama. Namun, Mama melakukan hal yang berbeda. Mama memakan dulu Choki-choki itu, baru sesaat setelah itu menengok kepada Reni yang masih memandangi mamanya. Mama pun menghiburnya, “Reni, kita makan sama-sama yah. Mama makan dulu, setelah itu mama minta Reni habiskan, ok?” Wajah Reni tiba-tiba berubah menjadi sangat cerah. Ia meraih Choki-choki terakhirnya dengan begitu gembira dan mengucapkan, “Terima kasih, Mama.”
Pengalaman menggembalakan hati anak semacam ini membuat kita menyadari bahwa sekalipun masalahnya mungkin kecil, tetapi hati manusia memang membutuhkan suatu pembentukan yang tidak mudah. Sebagai orangtua, kita harus peka terhadap momentum-momentum yang terjadi untuk menghidupi firman Tuhan dalam pengalaman anak sehari-hari. Orangtua perlu lebih sering belajar firman Tuhan dan lebih sering mengingatkan anak-anak untuk menjalankan firman Tuhan, sehingga yang hidup di dalam hati anak-anak kita adalah nilai-nilai kebenaran yang berbeda dari nilai-nilai duniawi. Sebagai orangtua, saya harus terus mengingatkan diri saya sendiri bahwa anak-anak belajar menjalani kehidupan imannya dengan memperhatikan kehidupan orangtuanya, dan orangtua belajar menjalani kehidupan ini dengan dasar firman Tuhan. Ayo orangtua, kita harus terus bertekun dan TETAP SEMANGAT!!!!
(Ditulis oleh Rachel Veronica, dari bahan diskusi dan sharing support group orangtua SAHABAT KRISTUS, 5 Februari 2015)