Gaya hidup – Batas-batas perubahan

gaya-hidup

Dari jaman ke jaman, gaya hidup masyarakat terus berubah. Semakin hari, perubahan semakin cepat. Tanpa disadari, perubahan2 gaya hidup memberikan pengaruh terhadap komunikasi, konflik dan keutuhan keluarga.

Jecelita (14 tahun) memberikan kejutan kepada kedua orangtuanya ketika ia pamit  untuk pergi ke ulang tahun temannya. Jecelita memakai pakaian yang sangat pendek dengan bagian dada yang cukup rendah. Walaupun Jecelita masih 14 tahun dan tubuhnya belum terlalu terbentuk, kedua orangtuanya sangat khawatir. Ibunya dengan lembut mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian, tapi Jecelita menyambut dengan respon yang sangat tak terduga. Gertakan Jecelita membuat ayahnya naik pitam, maka dimulailah adu mulut di antara mereka. Peristiwa ini ternyata terus berlangsung sampai Jecelita menanjak dewasa. Relasi mereka menjadi retak dipicu oleh ‘rok pendek’.

Masalah-masalah besar dalam keluarga seringkali dimulai dengan perubahan-perubahan kecil: menentukan makan apa dan dimana; desain rumah seperti apa; mau beli mobil apa; pakai baju yang mana. Memang akhirnya UUD: Ujung-ujungnya duit, karena Gaya hidup berkaitan erat dengan masalah “berapa banyak uang harus dikeluarkan untuk penyesuaian gaya hidup” .

Pertanyaannya: “sampai sejauh mana kita harus mengikuti perubahan-perubahan itu?”. Kapankah kita mengatakan ”cukup”?  Cukupkah dengan handphone yang saat ini?  Perlukah saya ganti dengan iPhone terbaru? Cukupkah dengan model rambut seperti ini? Perlukah saya ganti dengan model sekarang? Cukupkah dengan sekolah anak yang sekarang ini, perlukah dia dipindahkan ke sekolah yang sedang ’trend’?  Perlukah …cukupkah… itu adalah pertanyaan umum dalam mengikuti perubahan-perubahan gaya hidup.

Jawabannya sebenarnya sederhana: ”Standard nilai apa yang Anda pegang saat ini”.  Prinsip hidup, standard hidup akan menentukan cepat lambatnya kita bergerak dalam dinamika perubahan gaya hidup. Jika pengakuan sosial lebih penting dari stabilitas ekonomi keluarga, maka tidak heran banyak orang berani berhutang (dengan memakai kartu kredit) demi membeli kemeja bermerek yang harganya sama dengan uang sekolah 6 bulan dari anaknya. Jika prestige lebih penting nilainya dari hal rohani, tidak heran jika kita memutuskan untuk ”berhutang perpuluhan” demi merayakan ulangtahun anak 1 tahun di tempat mewah.

Apakah yang penting bagi Anda? Apakah yang Anda korbankan untuk sebuah ’gaya hidup’?