Kebanggaan Menjadi Hamba

Screenshot_6

KeyWord: Become a slave

Kalau Anda membaca 1 Korintus dari awal, apakah kita bisa berkata bahwa kita bangga menjadi hamba? Dari hari ke hari kita seperti sedang menuruni tangga, dengan langkah demi langkah yang makin mengarah turun. Semakin hari semakin melepaskan diri, hak, dan kebebasan diri.

Awalnya kita membatasi kebebasan, melepaskan hak, sekarang lebih jauh lagi: menghambakan diri—menjadikan diri terikat sebagai hamba. Seolah-olah kita kehilangan diri untuk orang lain.

Menarik sekali membaca tulisan-tulisan kaum secular humanist yang mendorong “self-esteem” dan bidang evolutionary psychology yang menjunjung “individuation”. Jelas, Paulus mengajarkan hal yang sangat berbeda. Yang dikejar bukanlah “self-esteem” melainkan “self-denial”. Yang dikejar bukanlah “be yourself” tetapi justru “become like others” dan “put yourself in others’ shoes”

“Make yourself a slave to everyone… to win as many as possible” Wow!!! Ini filosofi yang sangat berbeda dari apa yang diajarkan dunia pada umumnya. Dan memang pengajaran Alkitab sangat berbeda dan kadang tidak masuk akal. Ketika semua berlomba-lomba menjadi “boss”, anak-anak Tuhan seharusnya berlomba-lomba menjadi “hamba”.

Well… suami saya sekarang punya jabatan “boss”, dan ini sering kali disalahpahami. Karena dalam konsep Paulus, semakin banyak kita dipercaya untuk memimpin, semakin tinggi pula seharusnya tuntutan diri untuk menjadi hamba. Dengan kata lain, semakin tinggi jabatan sebagai pemimpin, semakin banyak hak dan kebebasan yang harus dilepaskan. Semakin besar kepercayaan untuk memimpin, semakin besar pula waktu yang dipakai untuk kepentingan orang lain, lebih daripada waktu untuk kepentingan dan kesenangan diri sendiri.

Ya, itulah yang akan dialami suami saya. Ia akan banyak kehilangan “me-time” baik di hari kerja maupun di akhir pekan. Di hari kerja Papa “melayani” bangsanya, di akhir pekan ia melayani di rumah Tuhan. “Me-time”-nya ia pakai untuk skype dengan anak dan istri untuk beberapa menit saja setiap hari. Tentu kami bukan pasangan yang baru menikah dan anak-anak juga bukan anak kecil yang selalu perlu didukung. Sudah saatnya kami sebagai istri dan anak-anak tidak menuntut perhatian Papa, tetapi justru mendukung Papa dalam misinya “menjadi hamba bagi bangsa dan gereja.”

Lifestyle kami harus banyak berubah seiring dengan perginya Papa bertugas. Saya sudah terbiasa dengan peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah. Timmy sudah mulai terbiasa dengan tugas dapur untuk mendukung disertasi Mama. Malahan Deus sudah menjadi konsultan bagi Papa dalam hal technology handphone dan computer. Mata kami harus terfokus pada “misi pelayanan keluarga di Indonesia”, sehingga semua gaya hidup kami harus tertuju ke sana. Kami pun berusaha segera menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia!

Kemarin saya bertanya pada anak-anak, “Kapan kalian ajak Mama nonton? Mama tidak punya hiburan apa-apa selain tidur (dan menulis renungan untuk Anda, tentunya).” Saya menyadari memang masa-masa fastening seat belt ini adalah masa-masa untuk melepaskan self-entertainment. Meskipun ada banyak hal lain yang menarik untuk dilakukan, anak-anak selalu mengingatkan: “Mama, fokus! Jangan korbankan anak-anak di Indonesia yang lebih membutuhkan Mama.” Ya, lifestyle kami harus banyak disesuaikan untuk terfokus pada visi-misi panggilan yang Tuhan tentukan bagi kami.

 

Pertanyaannya: Sejauh mana kita menyesuaikan lifestyle kita agar bisa terlatih untuk hidup sebagai hamba?

Permainan dengan anak: Biasanya anak perempuan di TK akan berebut mengambil peran sebagai mama atau putri. Mengapa? Karena menjadi mama mereka bisa nyuruh-nyuruh, dan kalau jadi putri, mereka menjadi cantik dan dilayani.

Nah, dalam persekutuan keluarga kali ini, berikan dorongan supaya anak-anak berebutan menjadi pelayan. Bagaimana caranya supaya anak-anak “bangga menjadi hamba”. Yang berhasil, rekam yah videonya dan share kepada yang lain.

 

Oleh: Junianawaty Suhendra, Ph.D.