Kurang Waktu?

Screenshot_7

Hanya 1 dari 7 hari!

Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu. Imamat 23:3

 

“Uuuuuh…. Lupa lagi!!! Mobil sampah sudah lewat.Sampah lupa didorong kedepan…. Wah…. Musti nunggu seminggu lagi untuk sampah bisa diangkat.”

Itulah keluhan saya sebelum menulis renungan ini…segera setelah membaca ayat di atas. Apa korelasinya?

 

Dalam waktu seminggu: 7×24 jam, kita kehilangan banyak momen. Apa yang sudah direncanakan, yang sudah dijadwalkan terhambat oleh karena sesuatu. Ada banyak alasan yang dapat terjadi: lupa, banjir, ketiduran, ada peristiwa mendadak yang harus diurus, atau keasyikan mengerjakan hal yang tidak perlu. Lalu setelah hal penting itu terlewat kita mengeluh….”aduh… repot, aduh…. Waktu gak cukup, aduh…. Bisa gak sih Tuhan kasih sehari itu 26 jam?”

 

Kami pernah mengalami masa-masa penyesuaian yang sulit dimana kami mengalami kesulitan membagi waktu untuk ke gereja Wedgewood dan ke gereja Indonesia di Arlington (Solideo). Gereja Indonesia hanya punya 1 kali kebaktian, artinya, kalau anak-anak ikut komunitas Sekolah Minggu, atau kalau kami melayani, maka kami tidak bisa sepenuhnya beribadah, penyembahan dan mendengar khotbah. Begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu dari awal kami sudah sepakat untuk ke gereja pagi dan sore di tempat yang berbeda. Namun, seringkali pada akhirnya kami memilih salah satu karena “kurang waktu” untuk menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikumpulkan hari Senin.

 

“kurang waktu…..” keluhan klasik. Apakah benar Tuhan begitu pelit memberikan waktu kepada manusia sehingga manusia kekurangan waktu? Kalau memang Tuhan memberi pas-pasan, kenapa lagi Tuhan minta waktu untuk-Nya? 1 hari dari 7 hari dalam seminggu.

 

Anak-anak saya sudah dilatih oleh papanya untuk berbagi makanan. Ketika dia datang di akhir tahun kemarin, di saat makan malam pertama, anak-anak berkata: “The giver is back”. Karena itulah yang menjadi karakteristik suami saya. Setiap kali makan, pastilah dia akan membagi-bagi makanan ke piring kami masing-masing, sekalipun kami sudah mengambil bagian kami sendiri. Perhatikan saja kalau Anda makan bersama suami saya. Selain dia makan bagiannya, dia akan sibuk menaruhkan makanan pada piring istri dan anak-anaknya. Nah … anak-anak belajar dari papanya. Ketika papanya pulang, mereka mulai peka melihat piring mamanya setiap makan. Mereka akan memaksa saya untuk makan daging atau nasi, ketika saya memilih untuk memberi 100 persen daging atau masakan baru kepada anak-anak. Mereka tidak membiarkan saya makan masakan kemarin atau hanya makan sayur/buah/nasi bekas yang sudah mulai keras. Jadi, kadang di meja makan terjadi dorong-mendorong makanan. Namun karena anak saya sudah menjadi pemuda-pemuda besar, biasanya saya kalah. Sebagai seorang ibu, kita seringkali lebih merasa puas melihat anak-anak bisa makan habis semua yang kita masak dan kita tidak merasa rugi kalau kita tidak bisa ikut makan apa yang suami dan anak-anak suka, bukan. Kita menyayangi mereka, tapi kita juga senang kalau mereka pada akhirnya dapat menunjukkan bahwa mereka sayang kepada kita.

 

Pada hari ini, saya jadi berpikir bahwa Tuhan sebagai bapak kita, selalu ingin memberi 100 persen hal yang terbaik untuk kita anak-anak-Nya. Jika kita sebagai anak sangat sayang kepada Tuhan kita, kita akan berusaha mati-matian untuk memberikan “bagian-Nya” yang sebenarnya bersumber dari diri-Nya sendiri juga. Tuhan tidak perlu waktu kita (seperti wanita setua saya agak perlu banyak daging dan nasi), tapi Dia senang kalau bisa menerima “ekspresi kasih” kita pada-Nya.

 

Seharusnya kita merasa “Puhau” (tidak enak hati) bila kita melewatkan ibadah di Gereja hanya karena ketiduran, kebanyakan nonton di hari Sabtunya dan memakai hari Minggu untuk menyelesaikan tugas yang kita tunda di hari-hari sebelumnya. Lalu pada hari berikutnya kita mengeluh…”gak punya waktu…”

 

Selamat menyiapkan hati untuk mengembalikan bagian-Nya (give it back His portion).

Selamat menyiapkan hati untuk beribadah dan melayani.

 

 

Oleh: Junianawaty Suhendra, Ph.D.