“Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8)
“Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Matius 9:13)
Apakah Anda lelah dalam menuntut anak-anak Anda? Apakah Anda merasa kecewa karena tuntutan Anda kepada anak, pasangan, atau diri Anda sendiri tidak terpenuhi?
Tanpa kita sadari, sesungguhnya hidup kita pun dipenuhi dengan berbagai macam tuntutan. Tuntutan itu bisa datang dari keluarga, pekerjaan, atau gereja. Dalam keluarga, kita dituntut untuk memberi waktu bercerita kepada anak, memasak makanan yang enak, memperbaiki barang yang rusak, menjadi majikan yang baik bagi pembantu dan supir, dsb. Dalam pekerjaan, kita dituntut atau menuntut diri untuk berprestasi, berdisiplin, naik gaji, naik pangkat, dll. Untuk menjadi umat gereja yang baik, kita dituntut untuk rajin hadir dalam kebaktian, memberi persembahan, terlibat dalam proyek misi, mengabarkan Injil, ikut pelawatan, bersekutu, ikut paduan suara, memberikan suara dalam pemilu, berkotbah/mengajar/menyanyi dengan baik, memimpin pemahaman Alkitab, hadir dalam rapat, dll.
Kita tidak hanya dituntut, tetapi tanpa sadar kita juga menumpahkan tuntutan kepada anak-anak kita: nilai A, juara, lulus ujian, latihan piano/biola yang rajin, kumon cepat naik level, GPA tinggi, diterima di universitas/sekolah yang bagus, disayang guru, punya banyak teman, sehat, gigi rata, kaki lurus, punggung tegap, perut tidak buncit tetapi tidak juga kurus kerempeng, ikut paduan suara, kalau bisa bernyanyi solo, duduk tenang di gereja, tidak mengantuk waktu dengar kotbah, tidak lari-lari waktu guru cerita, bernyanyi di depan kelas, jadi ketua kelas, sopan pada om dan tante tetangga, tidak menyakiti hati orangtua, menabung sisa uang jajan, bla…bla…bla….
Lalu apa kata firman Tuhan? Mikha 6:8 dan Matius 9:13 mengingatkan kita bahwa Tuhan lebih melihat hati daripada persembahan kita. Dengan kata lain, Tuhan melihat siapa diri kita dan bukan apa yang kita lakukan. Yang terpenting adalah MENJADI sesuatu dan bukan hanya melakukan sesuatu (being and not only doing). Tentu saja kita bisa berargumen bahwa menjadi sesuatu harus dibuktikan dengan melakukan sesuatu. Ayat-ayat di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa perbuatan tidak penting, melainkan yang terpenting adalah melakukan yang benar dari dalam hati. Ini artinya kita melakukan sesuatu dengan kualitas interpersonal—menumbuhkan mutu di dalam relasi kita dengan orang lain.
Kualitas diri seseorang tidak mungkin menjadi nyata tanpa adanya relasi dengan orang lain. Tidak mungkin seseorang adil tanpa menerapkan keadilan bagi orang lain. Tidak mungkin seseorang mencintai kebaikan kalau ia tidak melakukan kebaikan bagi orang lain. Tidak mungkin seseorang rendah hati di hadapan Allah, kalau tidak melayani orang lain dengan rendah hati.
Coba renungkan beberapa pertanyaan ini: Bagaimana Anda menilai diri Anda sendiri? Bagaimana orang lain menilai diri Anda? Bagaimana Tuhan menilai Anda?
Sudah tentu orang lain akan menilai kita melalui apa yang kita lakukan. Yang menjadi masalah adalah siapa diri kita menentukan apa yang akan kita lakukan. Sebagai manusia berdosa, sangatlah sulit melakukan hal-hal yang tidak dapat kita lakukan. Contohnya, seorang yang pemarah akan sulit sekali menahan amarahnya ketika ia terpancing untuk marah. Bagi seorang pemarah yang ingin sabar dibutuhkan anugerah damai sejahtera untuk membuat hatinya tenang dan untuk menolongnya bertumbuh menjadi lebih sabar di dalam proses yang membutuhkan waktu. Apabila tuntutan untuk menjadi lebih baik diberikan tanpa mempertimbangkan kebutuhan akan anugerah Tuhan, maka yang terjadi bukan saja tuntutan tapi juga tekanan kepada seseorang yang sebenarnya sedang bertumbuh.
Hari ini kita diingatkan bahwa Tuhan tidak akan menilai kita berdasarkan pada apa yang kita lakukan untuk Dia, tetapi Dia melihat bagaimana kualitas hati kita ketika berjalan bersama dengan Dia. Hanya dengan kerendahan hatilah kita bisa berjalan dengan Dia dan belajar dari Dia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diharapkan-Nya dari kita. Semua itu bersumber dari hati. Dengan hidup rendah hati di hadapan Allah, kita akan memiliki kasih, belas kasihan, dan kebaikan, sebab Allah adalah kasih dan Dia penuh belas kasihan. Setelah hal itu dipahami barulah kita akan dapat menerapkan keadilan.
Apabila selama ini kita sering menuntut anak untuk berbuat ini dan itu, atau jangan berbuat ini dan itu; tanyakanlah pada diri kita sendiri: sudahkah kita mengajaknya berjalan di dalam kerendahan hati bersama-sama dengan Allah? Apakah kita lebih banyak berdoa bersama anak daripada mengomel karena ia gagal memenuhi tuntutan kita?
Dalam film Batman Begins, disajikan sebuah filosofi yang dapat saja mempengaruhi hati anak-anak muda zaman sekarang. Tokoh utamanya berkata bahwa apa yang ia lakukan akan membuat dirinya berarti di mata orang lain. Bukanlah demikian yang dituntut Tuhan atas kita. Tuntutan Tuhan dimulai dengan mengajak kita berjalan bersama Dia dalam kerendahan hati (to walk humbly with God). Kerendahan hati berarti menyadari betapa rapuh dan lemahnya diri kita, dan betapa kita membutuhkan Tuhan sebagai Juruselamat kita. Maka dari itu, implikasinya dalam upaya kita mendidik anak adalah demikian: Sekalipun mengajarkan anak melakukan apa yang benar itu sangat penting, tetapi jauh lebih penting untuk mengajarkan mereka berjalan bersama Tuhan–dengan menyadari betapa besarnya Allah dan betapa kecilnya diri kita.
Oleh: Junianawaty Suhendra, Ph.D.