Sekalipun kita memahami bahwa anak adalah anugerah, seringkali proses mendidik anak sulit dinikmati sebagai anugerah. Beberapa alasan mengapa mendidik anak menjadi beban:
- Idealisme
Setiap orangtua mempunyai cita-cita dan idealisme sendiri tentang hidup, karir, dan kehidupan keluarga. Orangtua yang idealis dan sulit menerima realita sering memiliki beban yang banyak. Sebagai contoh: Ibu mempunyai idealisme ayah dari anak-anak yang banyak waktu bermain, mengajar sport, membacakan cerita Alkitab. Tapi dalam kenyataan pekerjaan suami mengharuskannya berada di luar kota dalam waktu lama. Ketika berada di rumahpun banyak sekali harapan-harapan istri yang harus dipenuhinya. Tegangan-tegangan semacam ini membuat ibu mengisi masa-masa emas mendidik anak dengan keluh kesah.Sebaiknya pasangan semacam ini mengambil waktu untuk duduk berdua dan bersama-sama menyusun kembali harapan-harapan yang cukup realistis. Masing-m,asing perlu menyatakan harapan dan batas kemampuannya. - Beban yang terlalu banyak
Setiap keluarga harus secara berkala mengevaluasi beban masing-masing anggotanya. Beban pekerjaan atau kegiatan yang terlalu banyak, kadang-kadang bukan saja membuat persoalan bagi diri sendiri tapi bisa berakibat buruk kepada anggota yang lain.Kadang-kadang kata yang paling sulit diucapkan oleh keluarga Kristen adalah “Tidak”. Tidak untuk permintaan dan tawaran kegiatan baik pelayanan, kekeluargaan maupun kegiatan social selain kegiatan pekerjaan dan kewajiban yang banyak.Kegiatan yang menumpuk dan tidak terorganisir dengan baik, akhirnya membuat anggota yang lain merasa tersisih atau dituntut berlebih.Contoh: Ayah sudah banyak pekerjaan ditambah dengan permintaan-permintaan mendadak untuk pelayanan, ibu mengalami kebingungan dengan apa yang harus disiapkan untuk ayah yang tidak jelas kapan pulang dan kapan pergi, sementara tidak ada pembantu dan ibu harus mengantar anak-anak kursus. Beban menjadi bertambah besar ketika ternyata anak-anak tidak cocok dengan kursusnya, sulit didorong dan tidak mau belajar.Sebaiknya pasangan semacam ini mengambil waktu untuk duduk berdua dan bersama-sama menyusun kembali prioritas dan kegiatan yang harus dibuang. - Gaya komunikasi “seharusnya kamu tahu”
Manusia dicipta sebagai makhluk yang harus berkomunikasi. Tuhan mencipta manusia bukan sebagai makhluk mahatahu. Setiap pasangan harus menyampaikan aspirasi, inspirasi dan pendapat kepada pasangannya. Bukan berarti 10 tahun menikah berarti dia sudah mengenal seluruh hati dan pikirannya.Gaya komunikasi “seharusnya kamu tahu” seringkali membuat ayah maupun ibu tidak bisa menikmati perannya sebagai pendidik.Contoh: Ibu merasa jengkel karena ayah tidak memberi tahu kapan tidak pulang makan. Ibu merasa kesulitan sekali karena kadang ayah pulang mendadak pada saat menemani anak tidur atau belajar. Pekerjaan ayah yang fleksible sering kali membuat ibu menjadi kewalahan karena jadwal bisa berubah dalam hitungan detik. Ayah merasa sudah banyak memberi waktu bagi keluarga, akan tetapi memang ada saat-saat yang tidak bisa dihindari karena kebutuhan pekerjaan yang mendadak.Suasana seperti itu membuat ayah merasa tidak berkualitas menjadi ayah, dan ibu merasa tidak dihargai.Sebaiknya pasangan semacam ini mengambil waktu duduk berdua untuk menyampaikan kembali harapannya. Cukup penting setiap pasangan menentukan “core-time”, yaitu waktu-waktu tertentu yang perlu ditaati bersama. Jikalau ada sesuatu yang berubah pada “core-time” itu, masing-masing perlu mengkomunikasikan. Selebihnya biarkan tiap pasangan secara fleksibel mengatur waktunya masing-masing. Tapi setiap pasangan harus mempunyai asumsi: Dia belum tahu dan perlu tahu apa yang sudah, sedang dan akan kerjakan. Dengan demikian, salah paham dan salah tafsir bisa dihindari. Dengan demikian “saling percaya” bisa lebih terbangun