Masalah utama dalam pengaturan emosi ialah masalah kelebihan dan kekurangan. Maksudnya, kalau bukan mengumbar emosi, kita menyumbat emosi alias tidak cukup dalam hal mengekspresikannya. Hal-hal seperti inilah yang seringkali muncul di dalam pernikahan dan menjadikan suatu pernikahan tidak sehat.
Jenis Relasi dari Sudut Emosi
Masalah pengaturan emosi bisa dibagi ke dalam tiga jenis dan ketiga jenis ini merefleksikan tipe relasi dan kepribadian suami-istri.
Tipe pertama adalah Tipe Ketel Mendidih
Pada tipe ini baik suami maupun istri tergolong vokal dan ekspresif dalam mengungkapkan emosinya. Tipe ini mudah bergejolak dan tidak tahan dengan hati yang panas.
Tipe Ketel Mendidih adalah tipe yang mudah meledak namun gampang melupakan pula. Dengan kata lain, suami-istri yang masuk dalam kategori ini sering bertengkar tetapi pertengkaran mereka biasanya tidak berlangsung lama. Masalahnya, meski tidak berminggu-minggu, setiap minggu mereka bisa bersitegang dan kalau tidak berhati-hati, akan mudah sekali terjadi pemukulan dan penganiayaan.
Orang dengan tipe ketel panas ini tidak bisa hidup dengan hati yang panas. Hati panas harus didinginkan dengan seketika dan caranya adalah dengan mengeluarkan uap panas itu dengan segera. Jadi, letak problemnya bukan pada ketidak-adaan sistem kontrol tetapi pada sistem kontrol itu sendiri. Sistem itu mengendalikan suhu panas dengan cara memuntahkan uap panas ke luar dan ia tidak tahu cara lainnya.
Tipe kedua adalah Tipe Kapuk
Dinamakan kapuk karena kapuk bukanlah penghantar panas yang baik. Masalah utama dengan suami-istri berkategori kapuk ini adalah mereka kurang mengerluarkan emosi, begitu kurangnya sehingga dapat dikatakan mereka jarang membagi perasaan dengan pasangan. Segala sesuatu yang dianggap dapat mengganggu stabilitas relasi akan diredam dan kalau bisa, disangkali keberadaannya.
Pasangan dengan tipe ini jarang bertengkar namun mereka juga tidak terlalu intim. Keintiman menuntut keterbukaan dan bagi orang dengan tipe ini, keterbukaan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan alamiah. Suami-istri Tipe Kapuk memilah hidup mereka dengan seksama dan hanya menyatukan bagian hidup yang relatif ringan dan tidak mengundang risiko terjadinya konflik. Mereka bergantung pada daya lupa dan rasionalisasi untuk menurunkan suhu panas di antara mereka. Bak sabuk kapuk yang menutupi gagang ketel panas, mereka menggunakan daya lupa dan rasionalisasi untuk menyerap suhu panas itu dan memang, setelah beberapa saat, suhu panas itu akan turun.
Tipe ketiga adalah Tipe Kombinasi antara ketel panas dan kapuk
Disini, yang satu berjenis ketel panas dan yang satunya berjenis kapuk dan keduanya bersatu dalam pernikahan. Sebagaimana tipe lainnya, tipe ini pun memiliki kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannnya adalah, mereka bisa saling mengimbangi. Jika yang satu sedang meluapkan suhu panasnya, yang lain dapat menyerap suhu panas itu tanpa perlawanan. Bila yang satu mengunci diri dan menolak untuk menyuarakan ketidaksukaannya, yang lain akan merasa terganggu dengan sikap diam itu dan memaksanya untuk berkata-kata. Dengan cara seperti inilah problem di anatara mereka lebih cepat terselesaikan.
Kelemahannya ialah, jika tidak berhati-hati, yang berjenis kapuk akan mudah merasa tertekan oleh uap panas yang dilontarkan dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, yang berjenis ketel panas malah ‘menikmati’ kebebasannya memuntahkan uap panas sebab pasangannya tidak bereaksi dan hanya menerima. Mungkin kita dapat menebak akhir dari relasi seperti ini : mereka akan makin renggang sebab yang menyerap tidak lagi bersedia dekat atau intim dengan pasangannya. Ia terlalu banyak menyimpan luka. Sebaliknya, yang bertipe ketel panas akan makin frustrasi karena merasa diabaikan dan kondisi frustrasi ini membuatnya makin agresif meluapkan kemarahannya. Demikianlah siklus ini berawal dan terus berputar tanpa henti.
PENYELESAIAN
Apa pun tipe kita, yang penting adalah kita mampu mengatur suhu emosi-menaikkannya bila terlalu dingin dan menurunkannya jika terlalu panas. Emosi merupakan elemen yang menciptakan keintiman. Pengungkapan emosi membukakan lapisan-lapisan pada diri kita dan mengundang pasangan untuk mengenal diri kita secara lebih mendalam. Namun, pengungkapan emosi yang berlebihan bisa menenggelamkan relasi pernikahan dan menghancurkan hati pasangan.
Kita semua merindukan untuk menjadi orang yang dapat mengatur suhu emosi dengan tepat. Kita mendambakan relasi yang intim tanpa harus melelehkan hati orang yang kita kasihi dan menginginkan relasi yang damai tanpa harus membekukan hatinya. Kita ingin menjadi orang yang ‘tepat emosi’ dan ‘tepat kata’ sebagaimana dilukiskan dengan begitu indahnya oleh Firman Tuhan, ‘Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak’ (Amsal 25:11).
Memahami perbedaan.
Kita harus menyadari bahwa masalah pengaturan suhu emosi merupakan masalah yang multidimensional. Penyederhanaan masalah tidak akan memberi solusi, malah menimbulkan kesan penghakiman yang semena-mena. Sekurang-kurangnya ada tiga dimensi yang perlu kita perhatikan.
Pertama adalah faktor kepribadian.
Faktor kepribadian ini secara langsung berpengaruh terhadap berapa mudah dan berkobarnya pengekspresian emosi. Ada sebagian kita yang bertemperamen phlegmatik dan biasanya para insan phlegmatik tidak begitu cepat mengeluarkan emosi dan secara keseluruhan memang level emosinya cenderung datar, berbeda dengan insan kolerik, sanguine, dan melankolik yang cenderung lebih terbuka dan seketika.
Kedua ialah faktor pengalaman masa kecil.
Ada sebagian dari kita yang tidak diijinkan mengutarakan emosi namun situasi rumah yang penuh konflik membuat kita tergenangi oleh kemarahan. Akibatnya kendati tidak diizinkan secara verbal, pertengkaran demi pertengkaran orangtua yang kita saksikan menanamkan benih emosi marah dan menciptakan pola pengendalian emosi yang eksplosif. Kita tidak tahu cara lain untuk mengkomunikasikan emosi selain dengan berteriak atau membanting barang dan dengan tersedianya cadangan emosi negative di hati kita, ledakan kemarahan lebih mudah tersulut. Di sini kita dapat melihat bahwa pengalaman masa lampau berpengaruh besar terhadap pengaturan suhu emosi.
Ketiga ialah faktor lingkungan hidup.
Ada seorang pemuda yang bercerita bahwa kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil dan pada akhirnya ia pun terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Sebaliknya, ada sebagian kita yang dibesarkan di lingkungan yang santun dan cenderung represif terhadap penyataan emosi. Tidak bisa tidak, lingkungan tenang akan lebih mendorong kita untuk menahan emosi, bukan mencetuskannya.
Ketiga dimensi ini memberi kita sedikit pemahaman terhadap kekompleksan masalah pengaturan suhu emosi. Kita tidak seharusnya dengan cepat melabelkan seseorang ‘kurang rohani’ tatkala ia mempunyai masalah dengan pengaturan emosi.
Masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah kurang mencintai atau kurang peduli dengan keluarga. Acap kali kita mengaitkan masalah emosi dengan hal lain dan ini dapat memperburuk relasi nikah. Mungkin sulit untuk kita percaya bahwa orang yang bisa membanting-banting barang tatkala marah sesungguhnya tetap mengasihi kita dan bahwa cintanya kepada kita tidak berkurang setelah ia marah. Contoh ekstrem ini (yang sudah tentu tidak saya anjurkan) menegaskan bahwa memang masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah cinta atau kurang mempedulikan keluarga.
Bagaimana cara mengatasinya?
Fokuskan masalah. Bila kita bermasalah dengan pengendalian emosi, sering-seringlah meyakinkan pasangan kita bahwa kita tetap mengasihinya. Akuilah bahwa masalah kita yang utama adalah masalah pengendalian emosi dan jangan salahkan orang lain atau situasi luar. Salah satu godaan terbesar bagi kita yang mempunyai masalah dengan emosi adalah menyalahkan, baik itu pasangan atau anak atau faktor luar lainnya, seakan-akan kita hanyalah si pemberi reaksi sedangkan merekalah yang bertanggungjawab sebagai pemicu ledakan emosi kita. Atau sebaliknya, jika kita cenderung diam dan menutup diri, kita menyalahkan pasangan kita sebagai pihak yang bertanggung jawab membuat kita kurang mengekspresikan emosi. Dengan kata lain, fokuskan pada masalah di sini juga berarti memfokuskan pada tanggung jawab pribadi. Inilah langkah awal untuk mengatur emosi. Dengan kita mengalihkan tanggung jawab ke pundak pribadi, secara tidak langsung kita mengalihkan fokus masalah, dari ‘Kamu membuat saya marah!’ menjadi ‘Saya harus menguasai kemarahan saya!’
Bergiliran. Masalah pengendalian emosi sebenarnya adalah masalah munculnya emosi secara tidak teratur. Salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan memasukkan keteraturan ke dalam pola berkomunikasi kita. Sejak TK, kita belajar untuk hidup teratur: masuk kelas dengan berbaris, berbicara bergantian, bertanya bergiliran, dan seterusnya. Tanpa terasa, iklim keteraturan mulai tercipta dan inilah rahasia mengapa suasana kelas bisa berjalan tanpa banyak gejolak.
Biasanya pertengkaran memburuk tatkala kita mulai berebut berbicara. Laju percakapan bertambah cepat karena kita menganggap pasangan tidak mendengarkan kita lagi atau kita merasa kian terdesak Itulah sebabnya penting bagi kita untuk menerapkan aturan ‘bicara bergantian’ di mana seseorang mempunyai hak untuk berbicara dan kewajiban untuk mendengarkan. Di dalam kerangka keteraturan ini luapan emosi lebih terkendali sebab kita tidak merasa diburu-buru untuk menyampaikan isi hati kita. Keteraturan juga berfaedah bagi sebagian kita yang mengalami kesulitan mengekspresikan emosi. Kita ‘dipaksa’ untuk menguraikan pendapat dan perasaan hati karena giliran kita telah tiba. Singkatnya, keteraturan membantu kita untuk mengatur emosi dan menyalurkannya dengan lebih bijak. Ternyata pelajaran TK ini sangat berfaedah sampai usia dewasa.
Kesimpulan
Dalam praktek konseling, saya menjumpai ternyata penyebab kehancuran rumah tangga yang paling umum adalah masalah pengaturan emosi. Emosi kitalah yang menghancurkan relasi pernikahan jauh sebelum problem lain mengemuka, baik itu ekspresi emosi yang berlebihan atau berkekurangan. Kesimpulan akhirnya adalah, jika kita ingin menyelamatkan pernikahan kita jauh sebelum masalah berat lainnya datang, mulailah dengan mengatur suhu emosi kita sekarang.
“Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Amsal 25:11)
Oleh: Pdt. Paul Gunadi, PhD.