Mengapa anak saya suka bermain sendiri, seolah-olah ada teman khayalan di dekatnya?
Anak balita Anda suka bicara sendiri seolah ada teman bermain di dekatnya. Anda mungkin agak ngeri melihatnya karena seolah-olah ada makhluk halus yang menemani anak Anda bermain.
Setiap anak mempunyai bentuk ‘teman’ yang berbeda, ada yang memberinya nama perempuan seperti dirinya dan seolah anak itu teman seusianya, ada juga yang berperilaku seolah temannya adalah seekor anjing yang terus mengikutinya.
Wajarkah??? Apakah anak Anda diikuti makhluk halus???
65% anak kecil membangun konsep teman khayalan pada saat mereka berusia 3 sampai 5 tahun, yaitu ketika mereka mulai membentuk identitas dirinya dan mulai mengenali batas antara khayalan dan dunia nyata. Walaupun pada umumnya, anak-anak mempunyai teman khayalan pada usia pra-sekolah, tidak sedikit terjadi pula sampai mereka usia 7 tahun¹ .
Selain teman khayalan yang tidak kelihatan oleh orang lain, teman khayalan juga bisa berbentuk objek yang terlihat, misalnya: boneka binatang, mainan-mainan berkarakter, dan lain sebagainya. Dari segi gender, anak perempuan lebih banyak mempunyai teman khayalan daripada anak laki-laki.
Dari beberapa riset yang diadakan, ditemukan adanya hubungan antara teman khayalan dengan perkembangan sosial dan emosi anak. Melalui berinteraksi dengan teman khayalan, anak belajar:
- Memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Keitha mempunyai seorang teman khayalan bernama “momon” (boneka monyet). Sekalipun tidak selalu Momon diajak besertanya, Keitha tetap bisa berbicara dengan Momon, yaitu dengan meletakan tangannya di telinga, seolah dia menelpon Momon. Kadang Keitha menanyakan bagaimana perasaan Momon, apakah Momon sudah makan atau belum, dsb. Tanpa disadari, Keitha sedang latihan untuk interaksi dengan orang lain. Menurut penelitian, anak-anak seperti ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang dapat lebih mudah memahami perasaan orang lain. - Mengembangkan rasa ingin tahu dan pemikiran kreatif
Joyce seringkali membicarakan tentang “Ida”, teman khayalannya. Kedua orangtuanya tahu betul bahwa tidak ada “Ida” yang sesungguhnya, akan tetapi Joyce seringkali membicarakan dengan serius dan banyak bertanya tentang Ida, warna pakaian yang disukai, apakah Ida punya rumah, apakah Ida masuk sekolah hari ini, dll. Sekalipun terdengar ‘aneh’, sesungguhnya anak ini mempunyai kreatifitas yang tinggi. Dia dapat membayangkan sesuatu yang tidak pernah ada, dan kemudian berkomunikasi dengan orangtua, bertanya untuk mengembangkan khayalannya. Orangtua yang bijaksana akan terus mengikuti percakapan ini tanpa rasa takut anak ini ‘kesurupan’. Karena sesungguhnya ini hanyalah gejala kerja otak dan tidak ada urusan dengan roh halus. - Eksperimen berbagai bentuk sosial dalam situasi kritis.
Lusi terdengar marah-marah di dalam kamarnya, ketika diintip oleh orangtuanya ternyata dia sedang memarahi bonekanya. Dalam hal ini orangtua tidak perlu berpikir “apakah anak saya trauma karena dimarahi dan melampiaskannya dengan boneka”. Sesungguhnya anak-anak suka mencoba beberapa peran orang dewasa, baik yang pernah dilihatnya maupun yang secara natur sebagai manusia, dia ingin melakukan eksperimen sendiri.Yang menjadi pertanyaan banyak orangtua Kristen adalah: apakah saya perlu mengoreksi atau menegur anak saya ketika dia menjadikan teman khayalannya sebagai kambing hitam.Ketika Nana ditegur oleh ibunya karena menumpahkan susu, Nana langsung melihat ke kursi kosong di sebelah kanannya dan berkata dengan keras: “Ita sih… Nana kan jadi dimarahi mama, aku sudah bilang… hati-hati nanti susunya tumpah. Nah kalau sudah begini bagaimana???”Orangtua Kristen akan berpikir, apakah saya harus berkata:“Nana…. Jangan cari alasan ya…mama bicara kepada kamu”atau“Nana… mama tidak bicara pada Ita, mama bicara pada kamu. Kamu yang menumpahkan susu, jangan berdalih.”atau“Dalam nama Yesus….. roh Ita pergilah dari anakku”
“Sekalipun Ita yang menumpahkan, Nana yang mama minta lap tumpahan susunya karena gelas susu ini adalah tanggung jawabmu”
Kalau saya jadi mama Nana, saya akan pilih yang terakhir. Selucu apapun anak kita ketika mengatakannya, tetap dia harus bertanggung jawab. Sebagai seorang anak balita, dia perlu mengerti konsekuensi perbuatan dari sudut pandang atau dunia caranya berpikir. Dengan kalimat terakhir, kita tidak mengeluarkan anak kita dari dunia khayalnya, tapi juga tidak terbawa untuk meninggalkan dunia nyata bahkan menariknya untuk masuk dalam dunia nyata. Ini merupakan cara imaginatif untuk mengerti konsep otoritas, benar, salah, hukuman dan pujian.
- Mengatasi perasaan-perasaan negatif.
Setelah orangtua Jeni bercerai, Jeni jadi lebih banyak berbicara dengan bonekanya, “Jeje”. Suatu hari ibunya mendengar Jeni berkata, “Jeje, hari minggu nanti kita jalan-jalan ke Singapore yah sama papa. Papa nanti akan ajak kita melihat kebun binatan, lho. Jangan takut dengan singa, kan ada papa.” Kalimat ini sudah barang tentu mengiris hati orang yang mendengarnya, akan tetapi sesungguhnya itulah cara Jeni mengatasi rasa takut terhadap perceraian, pertengkaran papa mama yang sering ia dengar dan sedang mengkomunikasikan harapan-harapannya. Dengan bantuan konselor, Jeni akan lebih mudah dibimbing untuk mengatasi perubahan-perubahan yang sedang dan akan dia alami.
Peran Orangtua dalam menghadapi ‘teman khayalan”:
- Mengembangkan
Orangtua dapat menggunakan ‘teman khayalan’ untuk melatih anak berpikir “bagaimana jika”, bukan hanya “mengapa” dan “bagaimana” (dalam realita). Jika anak tidak punya teman khayalan, orangtua boleh mendorong anak untuk mempunyai teman khayal, yaitu dengan cara bercerita: Tadi Tomat berkata bahwa dia sangat ingin dimakan. Bagaimana jika si Tomat ikut ke sekolah bersama kamu? - Tunjukkan minat Anda
Dengan memberikan pertanyaan open-ended, Anda akan mengembangkan interaksi dimana anak akan terdorong untuk lebih banyak bercerita. Misalnya:Anak: “Terry (teman khayalan), ayo cepat ganti baju… nanti kamu terlambat, lho”Orangtua: “Pakai baju apa Terry hari ini???”Anak: “Baju merah”Orangtua: “oh… baju warna merah?? Rok atau blouse atasan?? Sepatunya apa?, dst….dst…dst…. - Jangan memberikan penilaian negatif
Anda akan cepat mematikan manfaat dari ‘teman khayalan’ ini jika Anda cepat-cepat memberikan penilaian negatif.Misalnya dengan mengatakan: “ah…kamu aneh-aneh aja…mana temanmu?; “temanmu makan ya??? Koq makanannya gak berkurang?? Menghayal yah kamu??? Jangan bohong ah… mana ada sih si Ida, dari tadi juga mama gak lihat apa2”.Dengan komentar-komentar ini, anak mungkin tidak lagi mengatakan apa-apa dengan Anda, tapi bukan berarti dia berhenti dari menghayalkan temannya. Dan jauh lebih berbahaya jika dia tidak bercerita kepada kita, karena kita tidak tau apa yang dia khayalkan dan kita terhambat untuk membimbing pikiran ke arah yang positif. - Mengarahkan kepada dunia nyata (jika sudah berlebihan).
Pertanyaan yang mungkin Anda tanyakan: “kapankah saya perlu mengkhawatirkan relasi anak saya dengan teman khayalannya?”
Intensitas dan panjangnya waktu yang dia habiskan dengan teman khayalan haruslah tetap diperhatikan. Jikalau anak Anda menghindari pergaulannya dengan teman yang nyata dan lebih cenderung hanya mau bermain dengan teman khayalan, maka kita harus waspada. Mungkin saja anak Anda sesungguhnya mengalami perasaan tertekan ketika harus berinteraksi dengan teman yang nyata. Dengan demikian, orang tua harus lebih aktif memberikan pengalaman berinteraksi dengan teman nyata, memberikan dorongan dan menolong anak-anak untuk lebih menyukai bermain dengan teman nyata daripada teman khayalan.
Sikap memarahi anak dan memaksanya meninggalkan teman khayalan akan menambah perasaan tertekan. Orangtua harus secara aktif memberikan aktifitas pengganti yang jauh lebih sehat. Selain itu, orangtua juga perlu menemui penyebab rasa aman dan rasa takut yang membuat anak sering masuk dunia khayalnya.
“Bagaimana menghentikannya dari dunia khayalan?”
Terlalu banyak bermain dengan “teman khayalan” dapat menjadi tanda bahwa anak Anda sedang mengalami masalah kejiwaan yang kompleks. Kita tidak boleh menghina, melarang atau memarahi anak untuk hal ini, tapi juga tidak boleh terlalu terlibat dalam dunia khayalnya. Sedikit demi sedikit kita harus menunjukkan realita bahwa teman khayalannya tidak nyata: “Ida tidak bisa ikut makan bersama keluarga kita, karena dia tidak ada”; “Momon adalah boneka, bukan binatang yang hidup seperti yang di pohon itu, dll. Kadang kita perlu mengikuti skenario anak, tapi tetap dengan batas-batas tertentu dan dengan lembut membawa anak kepada kenyataan.
Pada akhirnya, nikmatilah masa-masa kecil anak yang penuh dengan imaginasi yang indah. Masa-masa itu akan berlalu dan anda akan merasa rindu kembali lagi ke masa seperti itu. Nikmatilah anak Anda dan didiklah mereka pada jalan yang seharusnya dia tempuh sebagai anak-anak Tuhan yang dicipta dengan daya imaginasi yang luar biasa (Amsal 22:6).
Referensi
l. Taylor, M. (2004). Developmental Psychology (Vol. 40, No. 6)
Gurian, Anita, Ph.D.. “When Your Child’s New Friend is Imaginary.” About Our Kids. N.p., n.d. Web. 23 July 2011.
Oxenreider, Anne. “Imaginary friends (2-4).” Sixty Second Parent. N.p., n.d. Web. 23 July 2011